Minggu, 28 September 2014

MENGATASNAMAKAN RAKYAT UNTUK KEPENTINGAN TERTENTU.



GONJANG- GANJING SETELAH PERSETUJUAN RUU PILKADA.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M. berharap masyarakat tidak terlalu cepat menilai pendapat pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Wacana (pemilihan kepala daerah lewat DPRD) ini harus kita dilihat secara komprehensif. Jadi tidak sepenggal-sepenggal menyatakan ini kemunduran. Demokrasi Pancasila juga bukan sekadar itu,” ujarnya di Gedung Kemendagri, Jakarta, Senin (8/9/2014).
"Sejak Juni 2005 ketika mulai diterapkan pemilihan langsung... 287 orang (kepala daerah) menjadi tersangka korupsi. Ini di tingkat kabupaten,” urai Gamawan Fauzi.
Selain masalah hukum, Gamawan Fauzi juga menyoroti biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada. “Kita juga menghitung biayanya, ada dua. Pertama biaya pemerintah Rp 3,3 triliun lebih kita keluarkan dalam tiga tahun terakhir," bebernya.
“Biaya kedua adalah yang dikeluarkan calon kepala daerah sendiri, dan ini tidak bisa dihitung pemerintah karena setiap calon memiliki anggaran sendiri untuk membiayai kampanye dan bahkan membentuk tim sukses segala,” papar Mendagri.
"Belum lagi ikutannya. Kalau menang, tim sukses untuk lima tahun berikutnya minta menang juga,” tutur Gamawan Fauzi, menjelaskan potensi korupsi kepala daerah yang dipilih langsung.
Dari pernyataan-pernyataan Mendagri tersebut jelas bahwa RUU ini sudah diusulkan dan dibahas sudah dibahas sudah sejak lama yang didasari oleh persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari PILKADA langsung.
Mengapa pernyataan presiden jadi aneh seakan-akan tidak setuju PILKADA langsung, sementara presiden melalui Menterinya yang berwenang sudah sejak lama mengusulkan dan membahas RUU ini, dan malahan Menteri Sekretaris Negera Sudi Silalahi mengatakan bahwa “ UU Pilkada tidak sah apabila tidak ditandatangani presiden”, apakah Sudi Silalahi lupa bahwa berdasarkan UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pasal 73 ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.”
Presiden SBY memakai 2 baju atau 2 topeng, yang pertama topeng Presiden dan yang kedua topeng ketua PARPOL, disatu sisi sebagai presden dia mengusulkan dan membahas bersama RUU Pilkada, dengan topeng lain dia mengatakan kecewa atas RUU Pilkada yang sudah disetujui DPR.
Atau dalam hal ini diakhir masa jabatnnya presiden masih membangun pencitraan terhadap masyarakat seakan-akan dia pro rakyat.
Apabila kita lihat lagi kebawah, rakyat yang memahami dan mengetahui mudharat dan manfaat PILKADA langsung berapa persen dari jumlah pemilih, dan rakyat yang tidak mau tahu dengan PILKADA yang memilih Golput berapa persen.
Yang sangat galau dengan disetujuinya RUU Pilkada tidak langsung adalah para petualang politik diantaranya orang-orang ambisius yang ingin jadi Kepala Daerah, yang hampir 300 kepala daerah sudah dipidana karena korupsi, para petualang politik yang menjadi tim sukses yang meraup keuntungan semenjak dimulai pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah sampai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, Partai politik yang menjual partainya untuk kendaraan mengusung Calon Kepala Daerah dll.
Banyak pihak yang mengatasnamakan rakyat termasuk presiden, apakah kita semua lupa bahwa rakyat sudah mendelegasikannya kewenangannya dalam hal ini kepada DPR, jadi tidak perlu lagi komentar mengatasnamakan rakyat karena kepentingannya terganggu.