GONJANG- GANJING SETELAH PERSETUJUAN RUU PILKADA.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) H. Gamawan Fauzi, S.H.,
M.M. berharap masyarakat tidak terlalu cepat menilai pendapat pemilihan kepala
daerah dipilih oleh DPRD, kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Wacana (pemilihan kepala daerah lewat DPRD) ini harus kita
dilihat secara komprehensif. Jadi tidak sepenggal-sepenggal menyatakan ini
kemunduran. Demokrasi Pancasila juga bukan sekadar itu,” ujarnya di Gedung
Kemendagri, Jakarta, Senin (8/9/2014).
"Sejak Juni 2005 ketika mulai diterapkan pemilihan
langsung... 287 orang (kepala daerah) menjadi tersangka korupsi. Ini di tingkat
kabupaten,” urai Gamawan Fauzi.
Selain masalah hukum, Gamawan Fauzi juga menyoroti biaya
yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada. “Kita juga menghitung biayanya,
ada dua. Pertama biaya pemerintah Rp 3,3 triliun lebih kita keluarkan dalam
tiga tahun terakhir," bebernya.
“Biaya kedua adalah yang dikeluarkan calon kepala daerah
sendiri, dan ini tidak bisa dihitung pemerintah karena setiap calon memiliki
anggaran sendiri untuk membiayai kampanye dan bahkan membentuk tim sukses
segala,” papar Mendagri.
"Belum lagi ikutannya. Kalau menang, tim sukses untuk
lima tahun berikutnya minta menang juga,” tutur Gamawan Fauzi, menjelaskan
potensi korupsi kepala daerah yang dipilih langsung.
Dari pernyataan-pernyataan Mendagri tersebut jelas bahwa
RUU ini sudah diusulkan dan dibahas sudah dibahas sudah sejak lama yang
didasari oleh persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari PILKADA
langsung.
Mengapa pernyataan presiden jadi aneh seakan-akan tidak
setuju PILKADA langsung, sementara presiden melalui Menterinya yang berwenang
sudah sejak lama mengusulkan dan membahas RUU ini, dan malahan Menteri Sekretaris Negera
Sudi Silalahi mengatakan bahwa “ UU Pilkada tidak sah apabila tidak
ditandatangani presiden”, apakah Sudi Silalahi lupa bahwa berdasarkan UU nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pasal 73 ayat
(2) yang berbunyi :
“Dalam hal Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.”
Presiden SBY memakai
2 baju atau 2 topeng, yang pertama topeng Presiden dan yang kedua topeng ketua
PARPOL, disatu sisi sebagai presden dia mengusulkan dan membahas bersama RUU
Pilkada, dengan topeng lain dia mengatakan kecewa atas RUU Pilkada yang sudah
disetujui DPR.
Atau dalam hal ini
diakhir masa jabatnnya presiden masih membangun pencitraan terhadap masyarakat
seakan-akan dia pro rakyat.
Apabila kita lihat
lagi kebawah, rakyat yang memahami dan mengetahui mudharat dan manfaat PILKADA
langsung berapa persen dari jumlah pemilih, dan rakyat yang tidak mau tahu
dengan PILKADA yang memilih Golput berapa persen.
Yang sangat galau
dengan disetujuinya RUU Pilkada tidak langsung adalah para petualang politik
diantaranya orang-orang ambisius yang ingin jadi Kepala Daerah, yang hampir 300
kepala daerah sudah dipidana karena korupsi, para petualang politik yang
menjadi tim sukses yang meraup keuntungan semenjak dimulai pendaftaran Bakal
Calon Kepala Daerah sampai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, Partai
politik yang menjual partainya untuk kendaraan mengusung Calon Kepala Daerah dll.
Banyak pihak yang mengatasnamakan
rakyat termasuk presiden, apakah kita semua lupa bahwa rakyat sudah mendelegasikannya
kewenangannya dalam hal ini kepada DPR, jadi tidak perlu lagi komentar
mengatasnamakan rakyat karena kepentingannya terganggu.